Sejarah Integrasi Nasional Bangsa Dan Nkri / Negara Kesatuan Republik Indonesia

Edukasippkn.com - Integrasi nasional merupakan kasus yang dihadapi oleh negara-negara yang gres merdeka dan negara-negara berkembang, terutama di dalam upaya membina dan mempertahankan kelangsungan hidup, persatuan dan kesatuan bangsanya. Terlebih-lebih bagi bangsa Indonesia dengan masyarakat sangat beragam dan wilayah begitu luas yang terdiri atas ribuan pulau-pulau. Pada dikala memasuki kurun 21 ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada tekanan dan imbas globalisasi di mana teknologi informasi, komunikasi dan transportasi telah menyajikan wacana dan tontonan yang sama sekali gres dan sanggup diakses kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja. Akibatnya, bangsa Indonesia mau atau tidak, suka atau tidak harus masuk di dalamnya dengan segala resiko dan konsekuensinya. Dalam memasuki era global, permasalahan utama yang harus dihadapi dan diatasi bangsa Indonesia ialah menjaga dan mempertahankan kelangsungngan hidup serta persatuan dan kesatuan bangsa di dalam bingkai empat pilar (elemen dasar : penulis) kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pembinaan integrasi nasional belakangan ini menjadi tema penting yang perlu dibahas untuk melihat kembali kesadaran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta untuk menemukan kembali kebudayaan dan identitas nasional dalam membina dan membuat persatuan dan kesatuan bangsa yang utuh dan bulat. Bangsa Indonesia yang terbentuk dari kemajemukan latar belakang Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) dengan menempati wilayah kepualauan, intinya ialah realitas hidup di dalam masyarakat, yang di satu sisi merupakan kekayaan atau asset bangsa yang tak ternilai harganya, namun di sisi lain, hal tersebut menjadi sumber kerawanan dan ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa terutama bila ada pihak-pihak yang memanfaatkannya secara tidak bertanggung jawab. Bagi bangsa Indonesia, yang diharapkan dikala ini ialah harus siap menghadapi dan mengatasi aneka macam kasus baik yang berasal dari dalam negeri maupun tekanan global yang secara potensial sanggup mengganggu perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa atau integrasi nasional.

Perjalanan integrasi nasional bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut dan bahkan telah menggeser nilai-nilai kearifan lokal yang dahulu dijadikan tatanan dan pedoman bertingkah laris oleh masyarakat. Namun kini telah berubah ke arah cara hidup yang lebih mudah dan instan dengan mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal mereka sendiri. Sejak usang yakni zaman sebelum merdeka, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mempunyai budaya luhur. Hal ini tercermin di dalam nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dan diimplementasikan serta dipakai untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) tersebut, kemudian dijadikan sebagai landasan yang kokoh dalam membangun nilai-nilai luhur budaya bangsa, yang terbentuk atau tersimpul menjadi identitas nasional. Nilai-nilai kearifan lokal yang terbentuk terbukti bisa menuntaskan setiap problem atau permasalahan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara baik pada tataran mewujudkan aspek kesejahteraan dan keamanan maupun dalam menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pergeseran nilai yang terjadi belakangan ini intinya ialah sebuah fenomena yang harus dicermati dan disikapi secara teliti dan hati-hati sehingga perjalanan bangsa Indonesia tetap berada pada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal bangsa sendiri. Bangsa Indonesia akan bisa menghadapi dan mengatasi tekanan yang terjadi sebagai jawaban globalisai apabila tetap berpegang pada budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia sendiri. Dengan kata lain manakala semua elemen bangsa tetap konsisten pada jatidiri dan kearifan lokal bangsa Indonesia sendiri, segala macam tekanan dan imbas negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi dengan gampang sanggup diatasi.

Negara Indonesia yang berbentuk negara kepulauan mempunyai karakteristik dan ciri khas yang dibingkai dalam azas nusantara yaitu suatu konsep yang memandang wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, yang terdiri atas wilayah perairan dan di dalamnya terdapat pulau-pulau dan deretan pulau-pulau. Wawasan Nusantara memandang bahwa perairan/laut ialah sebagai penghubung antar pulau yang satu dengan pulau yang lain menjadi satu kesatuan. Bukan sebagai pemisah menyerupai yang di anut Ordenansi 1939. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, bangsa Indonesia belum sepenuhnya bisa mengelola daerahnya dalam satu kesatuan yang utuh dan lingkaran dengan segenap isinya. Akibatnya masih ada beberapa wilayah Indonesia yang belum sanggup dikuasai, dimanfaatkan dan diberdayakan segala potensi yang terkandung di dalamnya secara maksimal, sehingga seringkali terjadi adanya keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti misalnya, kawasan Aceh, Papua, dan beberapa kawasan lainnya. Atau penduduk-penduduk yang ada di wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara lain. Ada beberapa dari mereka yang pindah ke negara yang bersebelahan, menyerupai : penduduk di kawasan Papua, Kalimantan, dan lainnya.

Berdasar latar belakang di atas maka dirasa perlu untuk menanamkan kembali kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya integrasi nasional yang mantap.

1. Integrasi nasional dan latar belakang sejarah

Pada masa sebelum kemerdekaan, di Indonesia telah berdiri unit kesatuan sosial yang berkembang pada setiap suku di seluruh wilayah nusantara. Unit kesatuan sosial tersebut, kemudian berkembang menjadi sistem sosial-politik yang diimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan adat dan/atau kerajaan yang hidup pada dikala itu. Fenomena sistem pemerintahan kerajaan atau adat tersebut telah memunculkan kemajemukan di dalam cara menyelenggarakan pemerintahan dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan keamanan warganya. Pelajaran yang sanggup dipetik dari pengalaman sejarah bangsa pada zaman kerajaan ialah adanya tatanan dan panutan dalam sistem ketatanegaraan di negeri ini.

Pada masa lalu, wilayah nusantara pernah mengalami masa kejayaannya, yang ditandai oleh berdirinya negara-negara kerajaan, baik berskala kecil maupun besar, di seluruh wilayah nusantara. Masing-masing negara kerajaan yang ada bisa membangun struktur sosial, struktur politik dan sistem pemerintahan yang mempunyai ciri khas masing-masing . Setiap negara kerajaan mempunyai imbas besar lengan berkuasa terhadap rakyat dalam membangun dan berbagi aspek-aspek kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat. Sebagian negara kerajaan telah membentuk tatanan kehidupan yang mapan dan mempunyai imbas sangat luas menyerupai negara kerajaan Sriwijaya dan negara kerajaan Majapahit.

Setiap negara kerajaan baik yang berskala lokal maupun yang berskala global telah menghasilkan keanekaragaman nilai-nilai yang berlaku khas dalam struktur sosial, budaya, politik dan sistem pemerintahan. Keanekaragaman nilai-nilai ini di satu sisi, telah memperlihatkan fakta bahwa setiap anasir bangsa Indonesia mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan, sistem demokrasi, struktur sosial, struktur kebudayaan dan sistem ekonomi sendiri dengan berbasis kearifan lokal. Akan tetapi, di sisi lain, keanekaragaman tersebut memperlihatkan adanya perbedaan yang kadangkala bersifat fundamental sehingga sanggup mengakibatkan konflik dan bahkan perang di antara negara kerajaan yang ada pada dikala itu.

Indonesia sebagai bekas negara jajahan selama ± 350 tahun lamanya, intinya belum bisa membebaskan diri dari belenggu serta ekses penjajahan dan penindasan oleh bangsa lain. Ekses penjajahan yang masih dirasakan hingga dikala ini ialah bangsa Indonesia masih dihadapkan pada kasus kemelaratan, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang hingga dikala ini belum sanggup diatasi sebagai bangsa yang sudah merdeka. Dengan kata lain, bangsa Indonesia dituntut bekerja lebih keras lagi semoga sanggup mengatasi permasalahan tersebut di atas. Dengan demikian makna yang tersirat dan tersurat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 yang sesungguhnya sanggup terwujud yakni masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Pelajaran yang sanggup ditarik dari negara kerajaan di masa lalu, antara lain adalah:

a)   Bangsa Indonesia ialah bangsa yang besar menyerupai yang ditunjukkan oleh setiap negara kerajaan dalam membangun dan mensejahterakan rakyatnya;
b)   Semua negara kerajaan telah mewariskan bermacam-macam pranata sosial, tatanan, nilai-nilai dan pedoman hidup yang diimplementasikan oleh masyarakat. Meskipun di dalam pranata sosial tersebut terdapat potensi konflik terutama bila ada pemaksanaan dari kerajaan yang satu terhadap kerajaan lainnya;
c)   Jika ditilik dari isi dan wujud setiap pranata sosial yang ada pada setiap negara kerajaan, maka kita sanggup menyimpulkan bahwa setiap negara kerajaan telah mengambarkan kemampuan menyelenggarakan pemerintahan sendiri yang khas sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang berjalan di negara kerajaan yang bersangkutan. Hingga dikala ini, sistem nilai yang diwariskankan oleh semua negara kerajaan intinya mempunyai karakteristik khas, bersifat unik dan mempunyai kebenaran yang bersifat universal. Artinya nilai-nilai yang diwariskan setiap negara kerajaan intinya sangat sesuai dengan prinsip-prinsip dalam menyelenggarakan negara moderen.

Dii lihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pembelajaran integrasi nasional sanggup dipilah ke dalam empat episode, yaitu :

a. Zaman sebelum penjajahan

Pada masa sebelum kedatangan bangsa penjajah memperlihatkan bahwa setiap komponen bangsa bisa berbagi kearifan lokal yang mendasari terbentuknya nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagaimana yang tersimpul dalam ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing, setiap kerajaan bahwasanya telah bisa membentuk sistem sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kebesaran nama negara kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, ternyata mengundang kedatangan bangsa-bangsa lain tiba ke Indonesia baik untuk berdagang dan/atau dengan tujuan ingin menjajah.

b. Zaman penjajahan

Pada zaman penjajahan, keadaan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia seolah-olah berbalik 180º sebelum penjajahan. Di bawah kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Mojopahit masyarakat mengalami kondisi adil makmur (gemah ripah loh jinawi), tenteram dan tenang (tata tenteram kerto raharjo). Tetapi sejak penjajah menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini, Indonesia menjadi bangsa yang menderita, melarat, miskin, sengsara, hina dan terbelakang. Akibatnya, timbullah ketidak puasan sebagian putra/putri bangsa Indonesia dan keinginan untuk melaksanakan perlawanan maupun pemberontakan terhadap penjajah baik secara fisik maupun sosial. Perlawanan terhadap penjajah intinya ialah sikap antipati yang ditunjukkan bangsa ini terhadap kolonialisme dan imperiaalisme yang tersebar secara merata di seluruh wilayah nusantara. Gerakan menentang penjajah telah tersebar merata mulai dari Pulau Sumatera di sebelah Barat hingga pulau Papua di sebelah Timur. Berbagai pemberontakan terjadi menyerupai di Aceh, Sumatera Utara, Sumatra Barat/Padang, Palembang, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Pulau Bali, Pulau Lombok, Kepulauan Maluku, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain di seluruh wilayah Indonesia. semua itu intinya merupakan lisan dan luapan rasa ketidak puasan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Kegigihan dan keberanian yang ditunjukan putra/putri kawasan wajib diapresiasi dalam bentuk pertolongan gelar atau tanda jasa sebagai jagoan nasional.

c. Zaman pergerakan nasional

Perlawanan yang dilakukan putera/puteri di seluruh pelosok nusantara itu masih sporadis atau bersifat kedaerahan. Sehingga sangat gampang ditaklukan oleh penjajah. Belajar dari pengalaman itu, maka usaha menuju Indonesia merdeka diubah dengan cara melalui pergerakan nasional yang terhimpun dalam wadah organisasi. Pergerakan nasional tersebut ditandai oleh berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Masa awal pergerakan naional ini disebut sebagai angkatan perintis. Sebagai organisasi sosial-politik, Budi Utomo bercita-cita mencapai Indonesia merdeka dengan cara mendahulukan pendidikan. Setelah lahirnya Budi Utomo, maka berdirilah organisasi-organisasi sosial-politik yang lainnya, menyerupai : Serikat Dagang Islam/Serikat Islam (SDI/SI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Katholik Indonesia Parkindo), Jong Java, Jong Selebes dan organisasi sosial politik lainnya yang secara bahu-membahu menuntut Indonesia merdeka.

Perhimpunan dan organisasi sosial-politik yang didirikan oleh generasi muda telah mengkristal, lebih sistematis dan lebih strategis dalam menyiapkan dan merumuskan kemerdekaan Indonesia. Kristalisasi ini mencapai puncaknya pada dikala para cowok memberikan ikrar atau sumpah cowok yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Ikrar atau sumpah cowok mencakup tiga sumpah yaitu kami putra-putri Indonesia mengaku: (1) bertumpah darah yang satu-tanah Indonesia; (2) berbangsa yang satu-bangsa Indonesia dan (3) menjunjung bahasa persatuan-Bahasa Indonesia. Dengan diikrarkannya tiga sumpah tersebut maka bangsa Indonesia bisa mewujudkan integrasi nasional pertama. Untuk mengenang kebesaran tersebut maka angkatan 1928 disebut sebagai angkatan penegak, yang sekaligus bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa tanpa membeda-bedakan unsur-unsur yang bersifat kedaerahan ataupun SARA. Pelajaran yang sanggup dipetik dari proses sumpah cowok ialah bangsa Indonesia bisa mewujudkan Integrasi nasional pertama.

Pasca Sumpah pemuda, putra/putri Indonesia membentuk sebuah forum yang diberi kiprah untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, bila Indonesia telah merdeka. Lembaga yang dibuat diberi nama BPUPKI (dalam bahasa Jepang : Dukuritzu Zyunbi Coosakai) dan telah berhasil merumuskan dasar negara (philosofis gronslag) dan menyusun rancangan UUD. Dasar negara dan Undang-Undang Dasar ini sangat diharapkan untuk memenuhi persyaratan bagi berdirinya sebuah negara. Hasilnya, sungguh luar biasa yaitu ditengah proses sidang BPUPKI, kelompok perancang Undang-Undang Dasar membentuk panitia kecil dan bisa menyusun naskah yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta. Yakni sebuah naskah yang memuat preambul (pembukaan; yang di dalamnya memuat Pancasila sebagai dasar negara). BPUPKI juga berhasil merancang Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (berisi XVI Bab, 37 pasal, IV pasal Aturaan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan). Piagam Jakarta menjadi modal yang sangat penting bagi Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di mana bangsa Indonesia telah siap untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan bangsa yang merdeka. Pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu sehari sehabis proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, PPKI yang dibuat tanggal 9 Agustus 1945 sebagai pengganti BPUPKI berhasil menetapkan : 1) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang naskahnya di ambil dari naskah Piagam Jakarta dengan melaksanakan beberapa perubahan. Seperti : menghilangkan 7 (tujuh) kata yang ada pada alinea IV yakni pada kalimat : “……berdasar pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” Diganti menjadi : “….Ketuhanan Yang Maha Esa ….” menyerupai sekarang; 2) Sidang PPKI juga berhasil menetapkan UUD, yang naskahnya dirancang BPUPKI dan 3) Mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta sebagai Presiden dan Wapres Negara Republik Indonesia, Pelajaran yang sanggup dipetik dari penetapan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 oleh PPKI, khusunya dengan pengubahan alinea IV, yakni pada sila pertama Pancasila ialah sikap berbesar hati , lapang dada, toleransi yang begitu inggi umat Islam terhadap kelompok masyarakat non muslim. Hal ini memperlihatkan bahwa begitu tinggi kesadaran masyarakat (dalam hal ini : umat Islam) sebagai pecahan yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.

d. Zaman sehabis kemerdekaan

Pasca kemerdekaan, ternyata terjadi perbedaan, goresan dan bahkan kontradiksi ideologis, politis, hemat dan kepentingan individu atau kelompok. Akibatnya, terjadi ketidak puasan dan ekstrimitas yang dilatarbelakangi oleh kekuatan agama, komunis, dan kondisi tertentu di mana orang/kelompok orang ingin memaksakan kehendak baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri.

Bangsa Indonesia setuju bahwa ekstrimitas yang berasal dari dalam dikelompokkan menjadi tiga ekstrim, yaitu : (1) ekstrim kanan yaitu ekstrim yang ingin menyelenggarakan negra dengan dasar agama; (2) ekstrim kiri yaitu ekstrim yang ingin menyelenggarakan negara dengan dasar komunis dan (3) golongan tidak puas, yaitu ekstrim yang memanfaatkan kondisi tertentu untuk memaksakan
kehendak kepada pemerintah yang syah. Sedang, ekstrimitas yang berasal dari luar negeri, muncul sebagai pecahan dari tekanan dan imbas globalisasi yang dikaitkan dengan isu-isu : (1) Pelanggaran HAM dan Human Trafficking; (2) Isu demokratisasi; (3) Isu Liberalisasi ekonomi.

2. Integrasi nasional dalam kemajemukan penduduk dan kondisi geografis Indonesia

Pembangunan bangsa memerlukan perhatian khusus terhadap kemajemukan penduduk yang terdiri dari bermacam-macam SARA, latar belakang geografis, latar belakang kebudayaan dan sebagainya. Kajian penduduk sanggup dilihat dari jumlah, distribusi dan komposisi penduduk. Permasalahan yang muncul ialah jumlah penduduk Indonesia dikala ini tersebar tidak merata dan mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Dari sisi jumlah, jumlah penduduk sebesar 250 juta merupakan jumlah terbesar ke empat dunia sehabis RRT (1,5 milyar), India (1,2 milyar) dan USA (600 juta) atau 250 juta di antara 7 milyar penduduk dunia. Letak permasalahannya ialah jumlah penduduk berkaitan dekat dengan tingkat kemakmuran bangsa. Artinya, jumlah penduduk berkaitan langsung dengan upaya memenuhi kebutuhan dasar/pokok insan baik pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan maupun rekreasi bagi semua warganegara.

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan memunculkan kasus gres yaitu keseimbangan antara jumlah kelahiran dengan ketersediaan kebutuhan dasar tersebut. Artinya, bila jumlah penduduk tumbuh secara rerata 3% (7,5 juta) per tahun maka 10 tahun lagi pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan berjumlah 325 juta, dan pada 25 tahun lagi (satu generasi) pada tahun 2040 akan berjumlah 437,5 juta. Ini berarti bahwa negara indonesia harus bisa mememnuhi kebutuhan pokok setiap warganegara terutama kebutuhan pangan, pendidikan, lapangan pekerjaan, perumahan dan sebagainya. Jika pertumbuhan penduduk tidak terkendali, maka dimungkinkan jumlah penduduk Indonesia akan naik lebih cepat atau dalam deret ukur sedang jumlah kebutuhan pokok akan naik dalam bentuk deret hitung. Akibatnya, bangsa Indonesia akan rentan terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin, berpendidikan rendah dan tidak mempunyai pekerjaan tetap (menganggur).

Permasalahan jumlah penduduk bila dikaitkan dengan konfigurasi dan konstelasi wilayah akan memunculkan kasus gres yaitu luas lahan pertanian bermetamorfosis pemukiman sehingga produksi barang pertanian semakin menyusut yang membahayakan kecukupan dan ketahanan pangan bagi rakyatnya. Pada dikala ini, jumlah penduduk masih memusat di Jawa (60%; atau 150 juta jiwa) alhasil lahan pertanian tidak akan bisa menyediakan materi kebutuhan pokok bagi warganya. Konsekuensinya, bila jumlah penduduk masih memusat di Jawa maka sanggup diduga lahan pertanian akan berubah fungsi menjadi pemukiman sehingga rentan terhadap krisis atau kekurangan pangan baik dalam konteks Jawa maupun dalam skala nasional. Dengan demikian, negara harus mengambil kebijakan positif di bidang kependudukan baik melalui aktivitas keluarga berencana maupun aktivitas transmigrasi.

Konstelasi wilayah Indonesia terletak pada posisi silang, yaitu menjadi sentra lalulintas kekuatan dan imbas ajaib yang terbuka lebar setiap saat, dari segala penjuru sedang daya penyesuaian bangsa masih rendah. Akibatnya, setiap komponen bangsa harus berhadapan dengan imbas dan tekanan globalisasi baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan-keamanan, dan aspek kehidupan lain yang terkait menyerupai pendidikan, teknologi, lingkungan hidup, HAM dan sebagainya. Gelombang dan arus global yang terjadi mustahil sanggup dicegah, dibendung atau ditolak namun yang lebih penting bagi bangsa Indonesia ialah bagaimana cara memperkuat dan mempertahankan jati diri bangsa sehingga tidak larut dalam nilai-nilai gres yang bertentangan dengan budaya bangsa sendiri.

Distribusi atau sebaran penduduk Indonesia 60% (150 juta penduduk) terpusat di Jawa, Madura dan Bali. Jumlah pulau di Indonesia ialah 17.557 pulau, baik besar maupun kecil, akibatnya, sebagian wilayah Indonesia berpenduduk sedikit dan bahkan tidak berpenduduk sama sekali. Ketimpangan distribusi penduduk tersebut sangat rentan terhadap pertumbuhan ekonomi yang merata, pertahanan-keamanan negara, pencurian kekayaan alam baik hayati maupun non-hayati (hasil hutan, ikan, hasil tambang) setiap dikala di seluruh wilayah utamanya pada wilayah yang tidak berpenduduk. Oleh alasannya ialah itu kegiatan transmigrasi dan penempatan penduduk pada pulau-pulau terluar di seluruh wilayah menjadi kebutuhan penting dalam menjaga, mempertahankan dan mengamankan bangsa dan negara.

Komposisi penduduk Indonesia bila dilihat dari tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, usia penduduk dan sejenisnya masih memperlihatkan ketidak seimbangan komposisi. Berdasar Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) tingkat pendidikan Indonesia masih tergolong rendah yaitu No 108 dari 187 negara. Indikatornya, sebagian Warga Negara Indonesia yang berusia pendidikan dasar masih terdapat yang buta huruf. Jumlah penduduk yang melaajutkan pendidikan dari pendidikan dasar ke pendidikan menengah dan dari pendidikan menengah ke pendidikan tinggi semaki mengecil sehingga rasio lulusan SD, SLP, SLA dan PT menurun drastis yaitu dari 100% siswa SD yang melanjutkan studi hingga di perguruan tinggi tinggi tinggal sekitar 10%.

Jenis pekerjaan yang tersedia di Indonesia sanggup dipilah menjadi tiga kelompok yaitu pekerjaan yang berkait dengan Pegawai Negeri sekitar 10 juta orang, pekerja swasta sekitar 100 juta sedang orang tidak bekerja sekitar 100 juta. Ketidak merataan komposisi pekerjaan tersebut di satu sisi mengakibatkan kecemburuan sosial yang mengarah pada aneka macam lisan ketidakpuasan menyerupai demonstrasi dan pemogokan kerja. Permasalahan yang dituntut oleh para pekerja ialah besaran upah yang mencukupi kebutuhan dasar bagi diri dan keluarganya. Dalam praktik pengupahan pekerja di Indonesia dikenal UMR (Upah Minimum Regional) yang hanya berlaku pada diri pekerja saja sedang keluarganya menyerupai tunjangan anak, istri dan tunjangan lain belum dimasukkan ke dalam komponen upah pekerja. 

3. Integrasi nasional dan kemajemukan budaya

Permasalahan integrasi nasional, pada umumnya dialami oleh setiap negara baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Runtuhnya United State Sosialis Rusia (USSR) dan Yugoslavia intinya ialah bukti bahwa kedua negara tersebut tidak bisa menjaga dan mempertahankan negara kesatuannya sehingga terpecah-pecah menjadi banyak negara baru. Dalam memasuki kurun XXI (milenium ke 3) setiap negara dihadapkan pada wacana dan imbas globalisasi di mana setiap orang suka atau tidak; mau atau tidak mereka harus masuk di dalam wacana dan tontonan yang sama sekali gres yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Era global yang ditandai oleh perkembangan teknologi informasi, kominikasi dan transportasi telah menjadikan dunia yang luasnya sama seolah-olah menciut dan tanpa batas. Dengan memanfaatkan hasil teknologi Hand Phone (HP) atau telepon orang sanggup mengikuti setiap perkembangan ditempat lain dalam waktu yang hampir bersamaan. Sedang dengan memakai teknologi transportasi pesawat terbang supersonic orang sanggup berpindah dengan cepat meskipun jaraknya ribuan kilometer.

Bangsa Indonesia terbentuk dari unit-unit sosial yang sudah teruji keampuhannya di mana setiap suku mempunyai dan berbagi konsep dan prinsip-prinsip kearifan lokal yang khas dan sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kebutuhan dikala ini ialah bagaimana bangsa Indonesia menemukan kembali nilai-nilai kearifan lokal dalam rangka memperkokoh identitas nasional ditengah-tengah keragaman budaya bangsa. Tiap suku telah berbagi tradisi dan budaya lokal sendiri sebagaimana tercermin dalam sistem sosial, struktur sosial, sistem ekonomi yang lebih kecil sehingga bisa berfungsi sebagai pengikat bagi anggota kelompok dalam suku itu.

Pada dikala ini, upaya pembangunan bangsa sering melupakan kemajemukan budaya dengan segala konsekuensinya. Dalam hal ini, sebagian orang beropini bahwa nilai budaya yang sudah mapan tidak perlu diubah dengan alasan sudah merupakan sebuah kebenaran mutlak. Sebagian orang yang lain, beropini sebaliknya yaitu menghendaki perubahan dan penggantian. Ini berarti bahwa sebagian orang menganggap bahwa masyarakat itu merupakan kesatuan sosial yang utuh dan mendukung tradisi dan budaya yang sama. Dengan demikian orang sanggup menghindari adanya pengelompokan sosial keberagaman sosial hal yang harus dihindari ialah adanya ketegangan, kontradiksi dan stereotipe yang sanggup memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dan sebaliknya, bangsa Indonesia harus bisa mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut dalam rangka memperkokoh kesatuan sosial.

Dinamika pergolakan kasus sosial yang bersumber dari perbedaan budaya lokal, harus diantisipasi sedini mungkin semoga tidak berkembang menjadi konflik sosial dan berpuncak pada terjadinya revolusi sosial. Ketidakmampuan mengatasi kasus sosial menyerupai kemiskinan, trafficking, dan kasus sosial lainnya dikuatirkan akan merembet pada kasus lain yang lebih luas. Bangsa Indonesia beruntung bahwa prinsip dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat tidaak mengenal adanya supremasi mayoritas dan tirani minoritas. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia bisa mendudukkan permasalahan budaya bangsa sesuai dengan konteksnya sehingga pertikaian antar unsur budaya tidak pernah terjadi.

Permasalahan yang mengedepan dalam menata kehidupan yang sejajar antar unsur budaya terletak pada adanya perbedaan peradapan antar suku bangsa. Sebagian anggota masyarakat Indonesia masih terasing dan sebagian lagi berpendidikan rendah sehingga terjadi ketimpangan terhadap kemajuan di bidang pendidikan. Akibatnya, masyarakat yang berpendidikan rendah tidak sanggup memasuki ruang pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu. Permasalahan lain yang sering muncul ialah korelasi timbal balik antara penduduk orisinil dengaan para pendatang atau keturunan asing, di mana sebagian penduduk orisinil pada umumnya tidak siap bersaing dengan para pendatang sehingga terjadi kecenderungan semakin tertinggal baik di bidang ekonomi, pendidikan maupun di bidang yang lain. Berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa penduduk yang masih bertempat tinggal di kawasan asal pada umumnya tidak cepat berkembang daripada merantau di tempat lain. Pergaulan dengan lingkungan luar kelompoknya intinya memperlihatkan dorongan dan motivasi untuk semakin maju dan menyempurnakan kehidupannya.

Bertolak dari pasal. 32 Undang-Undang Dasar 1945 maka makna kebudayaan nasional harus merupakan kerangka contoh bagi setiap penduduk untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kuatnya imbas kebudayaan terhadap kebudayaan lokal atau sikap penduduk terjadi alasannya ialah hampir semua penduduk telah mendapatkan dan mendukung kebudayaan nasional sebagai pedoman bertingkah laris dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Kehadiran kebudayaan nasional di tengah-tengah budaya kawasan atau suku tertentu bisa mengisi kekosongan sistem nilai yang berlaku secara nasional, terutama apabila budaya kawasan belum memuatnya.

Kajian kebudayaan nasional yang khas Indonesia, intinya sanggup dipilah menjadi tiga kelompok yaitu : (1) kebudayaan suku bangsa; (2) kebudayaan kawasan dan (3) kebudayaan nasional. Masing-masing kebudayaan berfungsi sebagai kerangka contoh serta menjadi lingkungan tempat bersemainya atau tumbuh kembangnya pergaulan antar anggota masyarakat. Aplikasi dari setiap kebudayaan tersebut bisa memperlancar hak dan kewajiban sosial setiap warga masyarakat dalam menjaga dan berbagi nilai-nilai dan kreativitas penduduk atau anggota masyarakat. Pengembangan kebudayaan nasional yang berbasis pada ketiga kelompok budaya di atas pada akhirnya akan bisa memperkokoh dan meningkatkan keterlibatan sosial setiap anggota masyarakat.

Pengembangan kebudayaan nasional sebagai satu kesatuan sangat diharapkan pada masyarakat yang bersifat beragam menyerupai Indonesia. Sumbangan kebudayaan nasional terhadap pembagian kekuasaan politik, ekonomi dan pemerintahan bisa memperlihatkan simbol-simbol dan pranata sosial para tokoh atau pejabat dari tingkat sentra hingga RT dan RW sebagai satuan jabatan terkecil di daerah. Nilai-nilai ini telah diimplementasikan ke dalam bermacam-macam aspek kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh setiap penduduk sudah tidak ajaib lagi dengan kegiatan gotong royong, azas musyawarah dan mufakat.

Pengalaman sejarah di masa kemudian telah mengambarkan bahwa bangsa Indonesia bisa menyelenggarakan sistem dan pranata sosial, politik, ekonomi, kebudayaan maupun pertahanan-keamanan. Dalam struktur sosiaal-budaya yang sudah mapan maka setiap komponen bangsa bisa membangun peradapan yang memungkinkan setiap anggota masyarakat sanggup mewujudkan nilai-nilai kesejahteraan dan ketenteraman bagi diri dan lingkungannya. Masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi memungkinkan bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai budaya terluhur. Nilai-nilai tersebut merupakan lisan kearifan lokal dan identitas diri yang dijadikan pedoman dan petunjuk dalam berbagi tatanan kehidupan berkelompok.

Pelajaran yang sanggup dipetik dari nilai-nilai kearifan lokal, tradisi dan nilai-nilai terluhur budaya ialah ditemukannya kesamaan terhadap prinsip-prinsip, etika, norma dan petunjuk hidup yang bersifat dan berlaku secara universal. Artinya, setiap kawasan mempunyai pranata sosial-budaya yang berlaku di kawasan lain. Dalam hal ini ternyata nilai, norma dan pranata sosial budaya mempunyai kesamaan dalam arti apa yang baik atau tidak baik di satu kawasan juga berlaku sama di kawasan lain.

Kemajemukan tradisi dan budaya kawasan secara bahu-membahu membentuk budaya nasional yang kokoh dalam bentuk saripati nilai-nilai terluhur budaya sebagaimana yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, kemajemukan tradisi dan budaya bukan kasus melainkan justeru menjadi pengikat perbedaan sebagaimana yang tersimpul dalam sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, kemajemukan tradisi dan budaya lokal pada akhirnya bisa memperkaya dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan nasional secara utuh-menyeluruh. Dalam studi integrasi nasional, perbedaan dan keanekaragaman tradisi dan budaya lokal harus dipandang sebagai asset bangsa yang tak ternilai harganya alasannya ialah bisa mempersatukan bangsa dan negara di atas perbedaan.

4. Integrasi nasional dan tugas-tanggung jawab masa depan Integrasi nasional merupakan pecahan penting dari pengembangan budaya bangsa dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan serta jatidiri bangsa seutuhnya. Bangsa Indonesia yang terbentuk dari kemajemukan SARA serta mempunyai latar belakang sebagai bangsa terjajah selama 3abad, memerlukan konsep perpaduan gres yang bisa membina, menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup dan eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat di tengah-tengah bangsa lainnya. Karakteristik “kebhinnekaan isi” tersebut intinya ialah modal dan asset bangsa yang tak ternilai harganya, alasannya ialah pengalaman di masa kemudian telah bisa membentuk kesatuan sosial dan jatidiri bangsa yang hidup rukun, tenang dan penuh toleransi diantara unsur-unsur SARA di atas. Akan tetapi, “kebhinnekaan isi” sanggup bermetamorfosis sumber ancaman dan marabahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa bila ada pihak-pihak yang berupaya memaksakan kehendak baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya maupun pertahanan-keamanan.

Pengalaman sejarah memperlihatkan bahwa negara-negara kerajaan di masa kemudian telah bisa membentuk struktur sosial-politik yang mapan dan hidup berdampingan secara tenang satu dengan yang lain. Kondisi kehidupan yang aman, tenteram dan tenang tersebut seringkali timbul perpecahan terutama jawaban penerapan politik pemecah belahan atau devide et impera yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan faktor pertikaian keluarga untuk perebutan tahta. Pada dikala ini, bangsa Indonesia telah memasuki tekanan dan imbas global sehingga mau atau tidak mau, suka atau tidak harus masuk di dalamnya, padahal daya penyesuaian bangsa masih rendah. Oleh alasannya ialah itu, bangsa Indonesia mempunyai tanggungjawa yang besar untuk mempertahankan jatidiri sebagai bangsa yang berbudaya.

Nampaknya, bangsa Indonesia dalam memasuki era global masih besar lengan berkuasa dalam upaya mempertahankan jatidiri bangsa. Akan tetapi kecenderungan mempertahankan nilai-nilai kesukuan dan kedaerahan masih secara umum dikuasai dalam pergaulan nasional. Dengan berlakunya otonomi kawasan maka kecenderungan kawasan untuk mempertahankan eksklusifisme kesukuan dan putra kawasan menjadi tema penting dalam memasuki era global ini. Pada dasarnya, prinsip-prinsip kedaerahan yang berkembang selama ini, memperlihatkan bahwa orang belum sanggup melepaskan diri dari belenggu dan dominasi kepentingan kedaerahan. Euforia kedaerahan, kadang kala berbenturan dengan putra kawasan yang telah keuar kawasan dan menjadi perantau yang lama. Akibatnya, sebagian keturunan putra kawasan yang telah usang merantau sudah tidak mengenal budaya asal, tradisi asal, bahasa kawasan dan bermacam-macam tatanan kehidupan di kawasan asaalnya.

Tanggungjawab masa depan bangsa sebagai kerangka contoh pergaulan nasional dan internasional dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

(1)  fraktor kependudukan;
(2)  faktor kemapanan kebudayaan kawasan atau suku; dan
(3)  faktor sosial, politik, ekonomi beserta aspek pemeratannya.

Ketiga faktor tersebut, menjadi pengikat dan penjamin kelancaran proses transformasi nilai-nilai, kiprah serta partisipasi masyarakat dalam pergaulannya. Kenyataan memperlihatkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan masih berkisar pada kota-kota besar sehingga ada kecenderungan bagi daerah-daerah terpencil dan belum maju untuk mendatangi dan bermigrasi ke pusat-pusat pertumbuhan terutama di kota-kota besar di pulau Jawa.

Dalam hal ini perlu diatur bahwa putra-putra kawasan yang merantau di pulau Jawa seharusnya mau kembali ke kawasan asal untuk membangun dan memajukan daeranya.

Kembalinya putra kawasan dan kesediaan para lulusan perguruan tinggi tinggi untuk membangun kawasan terpencil atau yang belum maju diyakini akan bisa mendongkrak kemajuan yang merata di seluruh wilayah. Kenyataan yang berkembang pada akhir-akhir ini ialah gosip putra kawasan untuk menduduki kekuasaan politik pada posisi penting dan memilih bagi daerahnya. Oleh alasannya ialah itu, perlu ditata kembali pengisian jabatan politik dan jabatan lain di kawasan sehingga orang tidak lagi mempersoalkan asal-usul dan dominasi kelompok mayoritas di seluruh wilayah Indonesia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jumlah Dingklik Dan Tempat Pemilihan Anggota Dprd Provinsi

Persyaratan Bakal Calon Anggota Dpr, Dprd Provinsi, Dan Dprd Kabupaten/Kota

Jumlah Bangku Dan Tempat Pemilihan Anggota Dprd Kabupaten/Kota